Siapa yang tak kenal sosok seniman satu ini? Pria bernama asli Kwee Yoe An kelahiran Temanggung, 13 November 1954 ini dikenal sebagai penari humor. Salah satu karyanya yang terkenal adalah tari Dwimuka yang sudah dipentaskan dimana-mana. Selama karirnya, ia belajar menari kepada lebih dari 23 guru tari, seperti Ni Ketut Sudjani, I Gusti Gde Raka, Rasimoen, Sawitri, Ni Ketut Reneng, Kamini, Bagong Kussudiardjo, BRAy Yodonegoro, Sangeeta, Richard Emmert, Sadamu Omura, Jetty Roels, Gojo Masanosuke, serta beberapa nama maestro lain dari berbagai negara. Tak heran Didik menjadi begitu menguasai seni tari, terutama yang berbasis tradisi. Anak dari pasangan Hadiprayitno dan Suminah ini juga kerap manggung di luar negeri. Termasuk saat saya bekerjasama dengannya mengkoreografi tiga buah pertunjukan di San Francisco Bay Area. Pertunjukannya lumayan penuh, malah sempat menolak penonton karena full booked. Penampilan Didik dalam menari memang sudah tak ragukan lagi, kalau orang awam berkomentar, ia menari bagai tak bertulang. Nama Nini Thowok sebenarnya baru didapat ketika ia menari dalam sebuah koreografi karya Bekti Budi Hastuti, senior Didik di ASTI (Akademi Seni Tari Indonesia) pada tahun 1975. Dalam koreografi tersebut ia berperan sebagai perempuan dukun tua bernama Nini Thowok, yang selalu ketiban sial seperti konde lepas lalu dipasang lagi. Merasa lebih cocok dengan tari-tari perempuan bercorak komedi, ia lalu kerap membawakan karya ini sehingga nama Nini Thowok menjadi lekat padanya. Bakat tari Didik memang luar biasa, sejak usia 15 tahun ia sudah belajar menari Bali dengan pemain Ketoprak yang juga tukang cukur bernama Soegiyanto. Kini ia telah menciptakan berbagai karya luar biasa, tari Dwimuka tahun 1987, tari Kuda Putih tahun 1987, tari Dwimuka Jepindo tahun 1999, tari Topeng Nopeng tahun 1988 dan tari Topeng Walang Kekek ditahun 1980. Pada tahun itu juga Didik mendirikan sanggar tari bernama Natya Lakshita yang artinya, tari yang berciri. Pada tahun 2000 ketika mulai dikenal istilah cross gender, yakni identifikasi terhadap sebuah kemampuan yang melintasi batas-batas seksualitas. Didik bergabung dalam pertunjukan yang berjudul Impersonators, The Female Role Players in Asian Dance and Theater di Tokyo, Jepang. Dalam pertunjukan yang disponsori Japan Foundation ini, Didik bergabung dengan para penari Cross Gender dari Jepang, India, dan Cina. Ia sendiri punya mimpinya menggelar festival Croos Gender dan baru terwujud pada Desember 2004, bersama teman-temannya ia mengadakan Festival Cross Gender di Yogyakarta dan mengundang para penari dari Jepang, India, dan Cina. Keberhasilan Didik sekarang tidak terpungkiri adalah buah dari kerja kerasnya. Ayahnya dulu sempat jadi pedagang kulit kambing. Kemudian bangkrut dan jadi supir truk. Sementara Ibunya buka warung kelontong kecil kecilan. Didik sendiri sempat jadi guru di ASTI (Akademi Seni Tari Indonesia) dan berpenghasilan pas-pasan. Sampai saat ini pun Didik masih menopang kehidupan orang tua dan saudara saudaranya di rumahnya. Sebagai seorang entertainer, sering dia tidak bisa ke gereja tiap minggu. Sebagai gantinya, dia panggil pendetanya untuk persekutuan di rumahnya. Didik kini hanya bisa bersyukur dan bersyukur. Rasa syukur itu ia wujudkan dengan mendirikan sebuah yayasan yang menyantuni biaya pendidikan lebih dari 60 anak. Bahkan sampai sekarang Didik masih ngamen di jalan Malioboro setiap Sabtu mencari dana buat yayasannya sekaligus menyuarakan hak milik jalan kepada artis untuk berekspresi diri di depan umum. Menjadi saksi kebesaran Tuhan atas dirinya, ia hanya bisa berkata, “Saya percaya, kesuksesan dan kebahagiaan saya adalah jawaban Tuhan atas semua doa-doa saya. Bahkan sekarang tidak ada lagi yang bisa menghina saya karena menarikan tarian perempuan. Ya, Tuhan memang selalu menguji saya sampai batas waktu terakhir, sampai-sampai, setiap kali saya berdoa, saya tidak tahu lagi apakah saya harus menangis atau tertawa. Memang, Tuhan itu suka bercanda.”(paul) Nama : Didi Hadiprayitno Lahir : Temanggung, Jawa Tengah, 13 November 1954 Pendidikan : ASTI Yogyakarta (1974) Karya Tari : Dwimuka (1987), Kuda Putih (1987), Dwimuka Jepindo (1999), Topeng Nopeng (1988), Topeng Walang Kekek ( 1980 ) Untuk Share Artikel ini, Silakan Klik www.KabariNews.com/?31514 Klik Disini untuk Baca Artikel ini di Majalah Kabari Juli 2008 ( E-Magazine ) Mohon memberi Nilai dan Komentar di bawah Artikel ini _____________________________________________________ Supported by : |
0 comments:
Post a Comment
Semua Komentar Anda Sangat Berguna Untuk Saya, Jadi Mohon berkomentar jangan cuma baca ya !!!!